Well, ini postingan blog-ku yang entah keberapa. Aku sebenarnya berharap supaya bisa menulis post blog yang banyak. Alright, aku sekarang terlalu perfeksionis sehingga tulisanku menjadi sedikit. Bukan karena aku semakin selektif dan memilah antara yang terbaik (meskipun aku mau), tapi entah kenapa aku merasa jika aku semakin merasa tulisanku haruslah sempurna, semakin kecil kemungkinan aku menjadi rajin dan bahkan memiliki niat untuk menulisnya. Itu pertama.
Hal lain yang ada di kepalaku sekarang adalah, aku butuh menulis. Kemudian, ini yang muncul di kepalaku sekarang. Kerap kali aku merasakan diriku merupakan seorang yang misfit atau outcast. Mostly, bukan karena aku tidak gaul atau kutu buku. Namun hanya karena aku memiliki prestasi, bakat, atau apa pun itu lah (yang entah bagaimana selalu tampak mencolok di situasi apa pun). Tidak, aku tidak sedang pamer. Ini nyata apa adanya yang aku rasakan dan di sisi lain, ini bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, aku merasa seperti valueable, alias berharga. Di satu sisi lainnya, aku merasa seperti dikesampingkan. Mengapa? Karena jelas benda yang elok pasti begitu mencolok sehingga jenis-jenis yang lain tidak mau ikut-ikutan mencolok bersamanya. Paham?
Karena itulah aku pun (aku bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas kemampuan ini) aku berkemampuan untuk memilah mana yang baik dan tidak secara rasional. Oke, jadi begini. Taruhlah anggapan bahwa kau menemukan suatu lingkungan yang begitu tidak merata, tidak homogen, namun terdiri dari banyak orang yang memiliki paham bahwasanya menghamburkan uang untuk terlihat keren dan kaya lebih penting daripada terlihat cerdas dan berwibawa. Lalu, kau tentu saja tidak mengikuti sebagian besar dari paham itu kan, meski kita tentu tertarik (untuk merasakan kenyamanan dan kemewahan, namun kita memilihnya untuk dirasakan sendiri alih-alih untuk dilihat orang lain). Nah, seperti itu.
Tapi, sayang sekali, sebagaimana pun kontribusi (BAHKAN YANG BEGITU POSITIF) pun terhadap mereka, rasanya pasti percuma saja. Bukan karena sebagian dari mereka tidak tahu berterima kasih, namun mereka menganggap kebaikan (yang merupakan perbuatan dari orang-orang dengan Emotional Questions yang tinggi) justru dianggap wajar untuk dilakukan oleh orang-orang lain, tidak dengan mereka. Anggap saja begini, kau membantu orang-orang banyak untuk mengajarkan A, B, C, D, hingga Z. Kau membantu mereka mengorganisir tugas-tugas dan segalanya. Tapi mereka tidak akan ingat (setidaknya ketika lulus) karena kebaikanmu dianggap wajar dan layak didapatkan karena kau PANTAS melakukan itu, jelas, ini toksik.
Sebenarnya tidak ada yang salah denganmu, ini pun bukan suatu pembelaan. Hanya saja memang ada yang salah, dan mereka tentu punya pemikiran yang keliru. Jadi, apa yang salah?
Sebenarnya tidak lain dan bukan adalah tempatnya. Lingkungan sangat menentukan dirimu, siapa kau, kini dan 5-10 tahun yang akan datang. Bahkan lebih. Maka, sebenarnya kau tidak salah, mereka telah memiliki perkumpulannya sendiri, dan kau tidak sengaja tercebur dalam lingkaran pertemanan itu. Saranku adalah, jika kau mengalami ini kau harus berpikir matang-matang tentang benefit dari apa yang kau dapatkan dalam lingkunganmu itu. Kalau perlu, buatlah list yang terdiri dari manfaat positif dan juga hal buruk yang kau dapatkan atau rasakan dalam lingkaran itu. Jika positifnya tidak begitu signifikan, aku rasa kau harus mempertimbangkan untuk memilih lingkungan baru. Setidaknya dalam jangka maksimum 2 tahun ke depan.
Apa pun keputusanmu itu, aku harap kau dapat menjalankannya dengan baik dan menghasilkan impak positif. Semoga kontribusi-kontribusi yang kita lakukan juga bermanfaat bagi orang banyak, dan tak lupa, bermanfaat untuk diri kita juga.
Jadi apa rasanya menjadi seorang misfit atau outcast? tentu saja jawabannya, tidak enak. Namun harus terus dijalani dan begitu keluar, harus menarik napas lega dan bersyukur telah melaluinya. Itu pembelajaran dengan nilai tak terbatas.
--Ji <3
0 Komentar
Kamu punya ide atau pertanyaan? Yuk tulis di bawah!